Oleh: Obral Chaniago
Di Sumatera Barat, jejak hilangnya hutan bisa dilihat di banyak tempat, dari lereng - lereng bukit yang gundul hingga aliran sungai yang membawa lumpur saat hujan besar. Dalam sepuluh tahun terakhir, provinsi ini kehilangan 1.175,7 kilometer persegi tutupan hutan. Angka itu hampir dua kali luas Kota New York.
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah pusat membuka peluang baru. Ormas Keagamaan dan PTN Badan Hukum diberi kesempatan mengelola usaha tambang mineral dan batubara. Dua Ormas besar di Sumbar, NU dan Muhammadiyah, serta dua PTN BH, Unand dan UNP masuk dalam daftar penerima peluang.
Namun, hingga awal Januari 2025, belum ada satupun yang menunjukkan minat awal. Arie Melan Perdana, Kepala Perwakilan Inspektur Tambang KESDM Sumbar, mengonfirmasinya dengan singkat. “Belum ada yang datang ke kami terkait hal tambang.”
Keheningan ini memunculkan dua tafsir. Pertama, mereka masih berhitung: usaha tambang bukan perkara sederhana. Kedua, ada pergulatan batin—ketika peluang ekonomi datang dari sektor yang berpotensi memperdalam luka ekologis.
Jejak Panjang Penyusutan Hutan
Indonesia dulu memiliki lebih dari 193 juta hektar hutan pada 1950. Kini tersisa sekitar 125 juta hektar. Sumbar pun tak luput dari tekanan. Selain penebangan liar, tambang ilegal dan ekspansi perkebunan terus menggerus kawasan.
TNKS, kawasan konservasi andalan yang diakui UNESCO, juga menyusut 250 ribu hektar dalam empat dekade.
Di sisi lain, program nasional seperti Asta Cita Prabowo Subianto dan Perhutanan Sosial memperluas akses pemanfaatan hutan hingga puluhan ribu hektar. Tujuannya mulia, pangan, energi, dan kesejahteraan masyarakat pinggir hutan. Namun risikonya jelas, hutan makin terfragmentasi.
Dilema Baru : Ketika Ormas dan Kampus Ditawari Tambang
Selama ini, Ormas Keagamaan dan perguruan tinggi kerap berada di barisan depan dalam advokasi lingkungan. Mereka bersuara ketika hutan ditebang, sungai tercemar, atau tambang masuk ke kawasan sensitif. Kini mereka dihadapkan pada tawaran menjadi pelaku usaha tambang itu sendiri.
Pertanyaannya menggelitik, Jika moral voice berubah menjadi economic actor, siapa yang akan menjaga hutan?
Sumbar masih memiliki sekitar 773 ribu hektar hutan lindung, termasuk Taman Raya Bung Hatta di Padang, hutan Solok yang luasnya lebih dari 140 ribu hektar, hingga kawasan lindung di Sijunjung dan Tanah Datar.
Kawasan - kawasan ini memegang fungsi vital, menahan banjir, menjaga tanah tetap subur, hingga menopang sumber air bersih. Hilangnya satu bagian saja dapat memicu bencana di wilayah lain.
Di satu sisi, ada peluang ekonomi baru yang dijanjikan dapat memperkuat kemandirian lembaga keagamaan dan kampus. Di sisi lain, ada jejak panjang kehilangan hutan yang belum tertangani.
Sumbar kini berada di persimpangan penting, memilih ekonomi cepat, atau menjaga kelestarian yang makin rapuh. Waktu akan menjawab bagaimana dua Ormas besar dan dua kampus negeri ini menyikapi peluang tambang yang datang tepat ketika hutan sedang berada dalam kondisi paling rentan. (*)
