-->

Notification

×

Iklan

Iklan Display

“Lembah Anai dan Warisan Teknik Belanda yang Kita Abaikan”

Kamis, 11 Desember 2025 | Desember 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-11T01:43:17Z

Penulis : Yulhendri Dosen UNP

Pada tahun 1892 - 1894, ketika para insinyur Belanda melakukan restorasi dan rekonstruksi kawasan Lembah Anai, mereka tidak sekadar menumpuk batu di tepi lurah. Konstruksi yang dibangun sudah menggunakan campuran teknologi masa itu: besi sebagai tulangan, batu, pasir, serta semen. Setelah 1910, semen yang dipakai bahkan sudah “Portland Cement” yang diaduk dengan air dan diaplikasikan secara benar dalam struktur.


Artinya, sejak lebih dari seabad lalu, teknik konstruksi sudah dilakukan dengan pendekatan ilmiah, bukan sekadar menata batu di sepanjang aliran sungai.


Bandingkan dengan praktik sebagian proyek kita sekarang: batu hanya ditumpuk begitu saja di bibir sungai. Ketika gelodo, kalereng batu, atau debit banjir meningkat, tumpukan itu mudah dihantam hingga tangga - tangga penahan runtuh berantakan, kita sudah sering menyaksikannya.


Padahal para insinyur kita saat ini punya ilmu dan teknologi yang sangat mumpuni. Mereka mengenal berbagai metode proteksi sungai, krib (groynes), revetment, retaining wall, hingga apron untuk melindungi kaki bangunan dari gerusan air. Namun kemampuan teknis itu jangan hanya berhenti pada pekerjaan “ma ungguak”. Pecahkan semen Portland itu, campur dengan air, padukan dengan pasir, kerikil, dan besi sebagaimana mestinya, agar konstruksi benar - benar menjadi struktur, bukan sekadar tumpukan.


Jangan pula menjadikan alasan anggaran sebagai hambatan. Untuk sektor lain saja kita bisa mengalokasikan dana yang cukup; mengapa untuk konstruksi vital pengaman banjir tidak?


Apalagi kita telah memiliki pedoman resmi yang jelas yakni SNI 8457:2017, SNI 2834:2020, SNI 6885:2019, serta pedoman BPSDA PUPR.

Mengapa standar yang sudah dibuat tidak dijalankan sebagaimana mestinya? Kita sudah merdeka. Sudah sewajarnya kualitas konstruksi Indonesia tidak lebih rendah dari standar Hindia Belanda seratus tahun lalu.


Karena itu, wajar bila Presiden mengingatkan para insinyur untuk “belajar lagi dari air”. Air gelodo adalah guru paling keras: ia tidak bisa dilawan dengan tumpukan batu, tetapi harus dihadapi dengan ilmu, teknik, dan kesungguhan.


Mari belajar kembali kepada air, karena air tak pernah berbohong tentang kualitas pekerjaan kita. (*)

×
Berita Terbaru Update