![]() |
oleh:Obral Chaniago |
Saya! Obral Chaniago, sangat kaget membaca sebuah buku terbitan MPR RI, dibagikan kepada rekan-rekan wartawan anggota PWI Cabang Sumatera Barat tahun 2021 lalu.
Satu buah tentengan bingkisan paket yang berisikan 4 buah judul buku yang dibagikan pada insan wartawan waktu itu, antara lain buku dengan judul MPR RI, Panca Sila, Undang undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika yang tergabung di dalam "empat pilar pembangunan kebangsaan".
Dari ke 4 judul buku tersebut yang telah saya baca, membikin saya ter-sintak dari tidur, bahwa "Minangkabau tidak punya kerajaan, melainkan merasa sebagai Minangkabau". Artinya, apa,..tidak ada sebutan sebuah Kerajaan atas nam kerajaan Minangkabau. Kecuali beberapa kerajaan kecil dan besar lainnya yang ada sebelum kemerdekaan yang keberadaanya dalam ruang lingkup daerah sekarang Provinsi Sumatera Barat, tetapi tidak menyebutkan, "kerajaan Minangkabau", melainkan dengan nama kerajaan lain.
Pernyataan Presiden RI pertama Soekarno juga menyebutkan, ada 8 etnik dan kultur sebelum kemerdekaan Indonesia, tidak punya kerajaan. Melainkan merasa sebagai etnik dan kultur tersebut, tetapi tidak punya kerajaan.
Pengakuan Soekarno dalam petikan dari 4 judul buku yang dibagikan saat seminar atau workshop dengan wartawan dalam pemaparan "empat pilar pembangunan kebangsaan", petikan kalimat Soekarno dalam buku yang tidak diperjual-belikan.
Seyogianya, terdapat dengan sebutan "kerajaan Minangkabau", maka ninik mamak di Minangkabau akan dapat menagih "Patigan" non hibah usaha komersial yang tumbuh diatas "tanah ulayat komunal" yang telah direkomendasikan oleh pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat atas pendelegasian pemerintah pusat dengan label Hak Guna Usaha (HGU) dari sejumlah luas hutan yang dikonversi untuk usaha ragam perkebunan besar dan kecil serta pengelolaan sumber daya alam lainnya.
Seyogianya, diyakini bahwa Minangkabau punya kerajaan, tentunya tatanan hukum adat Minangkabau tentang aturan adat yang berkaitan dengan "Patigan" bagi usaha komersial dalam daerah yang dilabel dengan falsafah budaya ini, "adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah". Kontennya, bukanlah tanah negara, tetapi "tanah ulayat komunal" dengan kewenangan etnik dan kultur anak dan keponakan Minangkabau ?
Kenapa tidak! Sekarang perlu kita pertanyakan. Siapa dan lembaga apa yang menjadi pucuk pimpinan kebudayaan atau pucuk pimpinan adat Minangkabau ?
Apakah, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), atau Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang ada di setiap nagari usali atau nagari tertua ketika bentukan KAN sebelum kemerdekaan (tahun 1915-1916).
Terkait ini pula, sekiranya Minangkabau merupakan sebuah "kerajaan" tentunya berlaku hukum adat diatas "tanah Ulayat komunal" yang telah banyak di HGU-kan oleh tingkatan pemerintah konvensional dalam Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).
Perihal ini perlu pengakuan dari pemerintah! Patigan dari tanah ulayat komunal perlu digagas oleh LKAAM dan, atau KAN. Mana yang lebih berfungsi ? Sekiranya, KAN yang lebih berfungsi-maka KAN-lah yang menerobos. Tetapi sebaliknya/seumpamanya LKAAM bentukan masa pemerintah Orde Baru, justru LKAAM harus membuktikan kiprahnya kedepan untuk membantah "pengakuan Soekarno" bahwa Minangkabau kerajaan ? Jika Minangkabau merupakan kerajaan maka "Patigan tanah Ulayat komunal" sangat perlu pembuktian dengan menagihnya ?
Tetapi, sebaliknya pula! Apa bila tidak berhasil pengakuan dari pemerintah bahwa Patigan tanah Ulayat komunal bisa ditagih kepada pelaku usaha komersial yang tumbuh diatas tanah Ulayat komunal, inilah sebagai pertanda bahwa "Minangkabau bukan kerajaan" melainkan merasa sebagai orang Minangkabau, dan tepat serta benarlah pengakuan Soekarno itu ?
Bahwa Minangkabau merupakan tradisi dan kebudayaan yang dipelihara secara bersama yang ditandai dengan bangunan tekstur rumah gadang seperti Istano Rajo Pagaruyuang yang bukan istana kerajaan Minangkabau.
Dan, menjadi benarlah adanya pengakuan Soekarno, bahwa Minangkabau bukanlah kerajaan adat, tetapi Minangkabau adalah tradisi dan kebudayaan, yang merasa sebagai orang Minangkabau.
Soekarno pernah menyampaikan pernyataan yang mengidentifikasi sebagai masyarakat yang tidak memiliki kerajaan, namun tetap memiliki identitas kuat sebagai orang Minangkabau. Meskipun dalam konteks politik dan sejarah, Minangkabau tidak memiliki kerajaan secara resmi berdiri seperti kerajaan lainnya.
Minangkabau memiliki sistim pemerintahan adat yang unik, dengan nagari sebagai unit pemerintahan dasar. Sistim ini bersifat kolektif dan tidak memiliki penguasa tunggal seperti raja.
Pernyataan Soekarno tersebut sering diinterpretasikan sebagai pengakuan atas keunikan politik dan sosial minangkabau, dimana identitas dan kebersamaan menjadi lebih penting daripada kekuatan kerajaan.
Dalam sistim Minangkabau, nagari merupakan unit terkecil pemerintah yang memiliki otonomi sendiri. Setiap nagari dipimpin oleh kepala nagari dengan sebutan sekarang (wali nagari) dan didukung oleh tokoh tokoh adat.
Minangkabau memiliki cara pandang dan sistim sosial yang unik, yang membedakannya dari masyarakat lain di Indonesia.
Budaya rantau, yang mana masyarakat Minangkabau sering pergi merantau dan tetap menjaga hubungan dengan kampung halaman, menjadi bagian penting dari identitas Minangkabau.
Bahasa Minang merupakan bahasa ibu yang masih digunakan secara luas di Minangkabau dan menjadi simbol identitas budaya.
Adat istiadat minangkabau yang sangat kompleks dan beragam, seperti adat perkawinan, adat kematian, adat pewarisan, menjadi bagian penting dari identitas Minangkabau.
Inilah segelintir pendapat penulis, tentang Soekarno menyebut Minangkabau bukan kerajaan, tetapi merasa sebagai Minangkabau ?
Sesuai pengakuan Soekarno, layak diterima, atau ditolak! Mari kita buktikan merujuk sejarah masa lampau.
Sebelum kemerdekaan masyarakat Minangkabau memiliki kerajaan dan kesultanan yang signifikan, beberapa kerajaan dan kesultanan yang pernah ada di Minangkabau seperti kerajaan Pagaruyung, kerajaan Dharmasraya, dan kerajaan Minangkabau serta banyak lagi nama lain kerajaan besar dan kecil meliputi wilayah Minangkabau tempoe doeloe.
Nah, disinilah letaknya kepastian wilayah Minangkabau memiliki kerajaan. Artinya, tatanan hukum adat Minangkabau seyogianya perlu ditegaskan!
Sedangkan Minangkabau kerajaan besar pada masa dulunya. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia di balut dengan aturan empat pilar pembangunan kebangsaan, yakni Undang undang Dasar 1945, Panca Sila, Bhineka Tunggal Ikan, dan dengan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan konsep empat pilar pembangunan kebangsaan inilah Indonesia merdeka disatukan, yang bukan lagi menonjolkan beberapa kerajaan besar dan kecil yang pernah ada sebelum kemerdekaan Indonesia.
Dan banyak lagi taktik dan tatacara bagi pendahulu bangsa ini untuk menyatukan dari seluruh keberagaman etnik dan kultur, ras, suku, bangsa dan keyakinan dipatri dengan konsep empat pilar pembangunan kebangsaan.
Namun demikian adat, tradisi dan kebudayaan, tak dapat dipungkiri untuk dibangun lebih moderen dan efesien kearah yang lebih maju lagi, yang dapat bersinergi dengan konsep empat pilar pembangunan kebangsaan yang bermuara kepada semboyan, "NKRI harga mati".
Kita bukan menonjolkan lagi etnik dan kultur, tetapi pembangunan kebangsaan masyarakat pemeluk adat, tradisi dan kebudayaan sangat perlu menyokong konsep empat pilar pembangunan kebangsaan melalui tanah leluhur yang merupakan pengayaan bagi etnik dan kultur itu sendiri.
Seperti halnya minangkabau di balut dengan falsafah adat Basandi Syara' Syara' Basandi Kitabullah. Secara menyeluruh dari keberagaman kerajaan besar dan kecil pada masa lalu disatukan dengan slogan nama sebagai kultur Minangkabau. Kerajaan Minangkabau sedari dulu telah didaulat sebagai kerajaan terbesar di negeri bundo kanduang. Sehingga tatanan hukum adatnya pun harus ditaati sebagai bukti nyata dengan payung panjinya, "dimana bumi dipijak disana langit dijunjung".
Slogan ini mengandung makna yang mendalam, dan dengan aturan hukum adat yang nyata, dengan nomor kaedah dan faedah melalui petuah dan petitih yang menjadi landasan aturan kearifan lokal.
Minangkabau sebuah kerajaan, dengan aturan padat sosial dalam pembangunan ekonomi kebersamaan, yakni terdapat aturan penerimaan "Patigan" yang bukan pajak dan royalty, bukan pula upeti, tetapi "Patigan" sebagai bentuk keselarasan dalam konsep empat pilar pembangunan kebangsaan secara menyeluruh bagi kultur ini.
Konotasinya adalah, "kabau pai kubangan tingga, nan tabao hanyo luluak di badan", inilah sebagai kiasan dalam hal aturan yang berkaitan dengan aturan adat Minangkabau dalam penghasilan atau pendapatan kerjasama dengan pihak mana pun yang menggunakan tanah leluhurnya.
Begitu juga gelar adat yang diwarisi dari pendahulu kultur ini, bahwa sako dan pusako yang ditimang dengan silsilah keturunan ibu atau matrilineal.
Setidaknya, pimpinan adat dalam paruik kaum dan kesukuan ini mewarisi titah silsilah keturunan, dan lebih luasnya lagi dapat digantikan dengan pengakuan plakat titah silsilah dengan jarak walau pun telah berjauhan tempat taruko.
Serta tatanan hukum adat yang lebih tinggi lagi! Bak petuah, "gadang diambah, tinggi dianjuang, balabiah manukuk, sentiang dibilai".
Petitih ini menjadi acuan aturan hukum adat ini. Sadanciang bak basi, saciok bak ayam, dengan terjemahannya mengandung makna leksikal, tidak nyata, tapi sangat diperlukan.
Nyaris semua aturan adat minangkabau tidak memiliki nomor Undang undang dan pasal, melainkan tatanan hukum adat Minangkabau berasal dari petatah-petitih.
Petatah itulah yang menjadi pedoman pelaksanaan yang telah digaris bawahi.
Sehingga pucuk pimpinan adat ini berlaku dengan ke toko-han, takah, dan tageh. Tokoh-"mereka dapat menjadi panutan anak dan keponakan".
Takah-tongkrongan membawakan isyarat tertentu, "tagak mahajan tuah, duduk maukua jarak".
Sedangkan, tageh-dalam bentuk pendalaman pengalaman, sehingga ketegasannya menjadi acuan dan ukuran, "bersikap tegas dalam melaksanakan kebenaran".
Ketegasan ini teramat diperlukan dalam melaksanakan aturan hukum adat yang lebih luas. Berdasarkan pucuk pimpinan adat komunal sangat diperlukan bagi orang yang memiliki silsilah dari keturunan kerajaan yang syah di masanya. Dapat diakui semua pihak bagi kultur ini, baik sebagai pimpinan adatbini secara menyeluruh maupun pimpinan adat paling terendahnya seperti ketua KAN. Seyogianya tak memiliki silsilah dari unsur keturunan kerajaan, tetapi sebuah pengakuan yang ditandai plakat hibah dari silsilah keturunan kerajaan yang syah dalam memimpin kepemerintahan adat ini.
Sehingga pemerintah konvensional dalam permohonan pimpinan adat untuk memperoleh "patigan" menjadi pertimbangan tanpa penolakan.
Alhasil, penerimaan "Patigan" bukanlah semata buat pengayaan sosial bagi kultur ini secara sempit tetapi mengandung makna yang lebih luas. Penerimaan "Patigan" menjadi support buat biaya pendidikan dan penguatan permodalan ekonomi bersama dan perorangan dengan landasan kelompok komunal dalam penggalangan ekonomi kultur tanpa dibebani dengan riba.
Sehingga penerimaan "Patigan" dari sumber penghasilan kekayaan leluhur "tanah Ulayat komunal" berdampak positif mendorong konsep "empat pilar pembangunan kebangsaan".
Ranahnya bukan semata di kultur Minangkabau, tetapi kultur yang lain seyogianya ingin melakukan konsep serupa yang terdapat pada daerah lain bak petuah, "lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang", maka kultur tersebut telah ikut melaksanakan konsep, "empat pilar pembangunan kebangsaan".(*).
#penulis:Obral Chaniago*
#Journalist*